(Reaktualisasi
Nilai-Nilai Alquran Menuju Ke-modern-an Sejati)
Fenomena
Modernisasi
Istilah
modernisasi sudah sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Bahwa
ia merupakan gambaran peradaban canggih dalam kehidupan umat manusia. Kemudahan
transportasi, informasi dan komunikasi, dalam bidang teknologi, menjadi ciri
khas eksistensinya. Hal itu dapat dibuktikan dengan semarak teknologi yang
semakin akut perkembangannya, mulai dari HP, Komputer, Flash Disk, dan bentuk
teknologi lainnya. Dengan alat-alat tersebut dunia seakan terlipat, mudah
dijangkau dari segala pejuru dan ke segala penjuru. Dengan demikian, tidak
salah apabila Anthony Gidden menyebut modernisasi sebagai time space
distanciation, yaitu dunia tanpa batas. Ruang dan waktu bukanlah kendala
vital aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan sesamnya.
Dalam
pada itu, sambutan hangat masyarakat terhadap modernisasi terus berkembang.
Modernisasi dianggap angin segar yang akan merekonstruksi peradaban mereka yang
dianggap jumud dan tidak relevan dengan keadaan saat ini. Persepsi
mereka, teknologi canggih, sebagai implikasi modernisasi, akan membawa
kehidupan mereka pada ranah yang lebih maju dan lebih pasti, semua hasil
teknologi lebih memuaskan dan menjanjikan. Kepercayaan seperti itu semakin kuat
seiring dengan hegemoni teknologi itu sendiri.
Ironisnya,
mayoritas masyarakat hanya melihat modernisasi dari aspek kecanggihan
teknologinya, sedangkan dampak dan pengaruhnya terhadap sisi-sisi kehidupan
mereka, seperti ekonomi, politik, budaya, bahkan agama, tidak lagi
diperhitungkan. Padahal menurut Machalli modernisasi akan menghancurkan
sendi-sendi kehidupan manusia secara pelan. Dan persepsi tersebut sudah terbukti
saat ini. Misalnya, dalam dunia Islam jama’ah dan musyawarah adalah doktrin
yang ditekankan implementasinya. Padahal keduanya adalah tradisi kemanusiaan (humanism
tradition) dan dengan tradisi tersebut seorang akan lebih mudah menghadapi
problemnya, di dalamnya akan terjadi dialektika antara satu sama lain. Tapi,
dengan membeludaknya produk-produk modernisasi tradisi tersebut tergeser
diganti oleh tradisi yang mengandalkan “kecepatan waktu”. SMS yang sekarang
mengganti posisi silatur rahim dalam ajaran Islam adalah salah satu contoh
nyatanya.
Klimaksnya,
modernisasi hanya menciptakan pergeseran paradigma (shifting paradigm).
Nilai-nilai agama yang transenden diganti dengan nilai-nilai teknologi buatan
manusia itu sendiri. Akhirnya Alquran sebagai sumber agama yang otentik menjadi
beku, nilai yang terkandung tidak dapat diterjemahkan kedalam realitas. Kitab
yang diturunkan sebagai penerang umat manusia (rahmatan lilalamin) bukan lagi
sebagai pedoman, dan teknologi yang belum jelas asal musal dan tujuannya kini
diagungkan. Kalau meminjam bahasa Ulil Abshar, Alquran telah ditundukkan pada
realitas. Zaman yang harus sesuai dengan nilai Alquran kini Alquran yang
disesuaikan dengan realitas yang ada dengan dalih reaktualisasi nilai-nilai
Alquran. Sekiranya sangat benar sabda Nabi Muhammad “akan datang suatu zaman
dimana Alquran hanya tinggal tulisan” dijadikan jawaban dalam konteks masa
kini.
Alquran
Berbicara Modernisasi
Alquran
adalah mukjiazat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad selaku manusia pilihan plus Nabi terakhir di dunia ini. Sebagai
kitab samawi terakhir, Alquran memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh
kitab-kitab sebelumnya. Dengan hadis Nabi sebagai penjelas (mubayin) dan
penafsiran ulama, Alquran dapat dibuktikan bahwa ia adalah kitab super komplit
dalam membicarakan semua fenomena di dunia ini, termasuk fenomena modernisasi,
baik ijmal maupun tafsil.
Mayoritas
pemikir memahami bahwa modernisasi adalah gerakan untuk merombak cara-cara
kehidupan lama menuju “model” kehidupan baru dengan baromiter frekuensi
kecepatan dan mutu yang mampu menguasai pasar. Prosesnya mengandalkan “akal
mesin” yang dikenal dengan teknologi canggih dan “akal manusia” yang disebut
dengan pemikiran kreatif.
Apabila
demikian pemahamannya (akal mesin dan menusia sebagai titik fungsinya)
modernisasi bukanlah hal baru yang harus ditakuti dan dijauhi. Karena dua puluh
abad yang silam Alquran telah mensinyalir. Misalnya tentang laut dan ruang
angkasa diterangkan dalam surat Arrahman 33, tentang eksplorasi benda-benda
ruang angkasa dan pengolahannya serta pemanfaatan besi dan tembaga sebagai
bahan teknologi ada dalam surat Assaba’ 10-13. Ayat-ayat tersebut didukung
dengan ayat yang menjelaskan tentang peran akal manusia dalam hidupnya. Sebagai
bukti bahwa manusia harus menggunakan akalnya untuk bisa mendapat apa yang ia
harapkan.
Dengan
beberapa ayat tersebut, dipahami bahwa modernisasi dalam kehidupan manusia
merupakan hal yang pasti terjadi, atau dalam bahasa Alquran disebut sunnatullah. Karena kecerdasan yang semakin
meningkat, penemuan yang semakin padat dan fasilitas yang semakin lengkap
dengan sendirinya akan menuntut manusia untuk mereformasi sistem kehidupannya
dan mencari sistem baru, dengan pemikiran baru tentunya, yang sesuai dengan
kondisi dimana dan kapan dia hidup. Allah berfirman “Allah tidak akan merubah
keadaan suatu kaum kecuali mereka merubanya sendiri”.
Reaktualisasi
Nilai yang Hilang
Dalam
tulisan ini terdapat dua kata kunci. Pertama, alqauran selaku pandangan hidup
(way of live) manusia dalam mengarungi kehidupan mereka. Kedua, Moderninasisi,
gerakan baru hasil karya dan karsa manusia serta peradaban mereka yang akan
mengganti sistem kehidupan mereka menuju kehidupan yang selangkah lebih maju.
Dua kata
kunci atersebut sama-sama memiliki peran signifikan dalam kehidupan mereka.
Alquran adalah kitab yang menjadi sumber bagi semua sumber hukum yang menjiwai
semua konstitusi . Oleh karena itu, kitab ini diyakini sebagai penyelamat dari
semua hiruk pikuk kehidupan dan penghantar pada kebahagiaan hakiki. Sedangkan modernisasi
merupakan gerakan dunia canggih yang akan membawa manusia pada dunia dimana
“instanisme” berkuasa. Segala sesuatu akan bergerak secara cepat dengan
pekerjaan yang lebih mudah dan kualitas yang lebih baik.
Permasalahan
yang tampak sekarang bahwa nilai-nilai sakral keduanya telah hilang.
Kesejatiannya mulai ditinggalkan oleh manusia itu sendiri. Alquran dipolitisi
dan diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan pribadi masing-masing. Kitab suci
yang memuat perundang-undangan dunia tak ubahnya boneka yang dapat dipermainkan
oleh siapa, dimana, dan kapan saja. Begitu juga dengan modernisasi, keasliannya
sudah direnggut dan dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan yang bersifat
temporer. Implikasinya, kehadiran modernisasi tidak dapat membawa kebahagiaan,
bahkan keingungan semakin rentan menimpa manusia dalam menjalani hidupnya.
Dalam
konteks seperti ini, perenungan kembali terhadap nilai-nilai Alquran dan
modernisasi patut dibutuhkan. Bagaimana Alquran mampu diterjemahkan dalam
konteks nyata dengan bentuk aplikasi nilai sakralnya. Begitu juga modernisasi,
bagaimana kecanggihan teknologi dapat dijadikan kesempatan emas untuk meraih
ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti. Untuk
mendapatkan hal tersebut maka Alquran dan modernisasi harus dikompromikan
sehingga menjadi satu kekuatan yang akan memberikan jalan terang. Modernisasi
harus berjalan sesuai dengan aturan yang telah tertuang dalam Alquran dan
Alquran harus terus diinterpretasikan sesuai dengan perkembangan zaman dengan tanpan
meninggalkan nilai sakralnya.
Dengan
demikian, modernisasi yang saat ini menjadi bumerang kehidupan manusia akan
lunak dengan sendirinya. Alquran yang dianggap tidak relevan dengan zaman akan
menemukan kembali reputasinya. Akhirnya, kebahagiaan hakiki akan didapat, toh
walaupun zaman terus berkembang secara pesat. Abduh (2004:112) menyatakan
adanya ikatan nilai antara Alquran dengan modernisasi akan dapat mempertemukan
manusia pada kebahagiaan hakiki dalam kemudernan sejati.
Wallahua’lamu
bisshawab
0 comments:
Post a Comment